Wednesday, November 14, 2007

Kita Ditundukkan Sejak Dalam Pikiran…


Seorang kawan-dan mungkin banyak orang akan berlaku seperti kawan saya ini-datang kepada saya setelah beberapa bulan saya dinyatakan lulus sarjana S1. ia bertanya kepada saya: “Gmn, udah kerja belum?” atau “udah kerja di mana?”

Pertanyaan ini menyesakkan saya. Sebab bagi saya, sungguhkah ada korelasi langsung antara kegiatan akademis yang dituntaskan dan berujung kepada pekerjaan? Apakah memang sudah ghalibnya bahwa seseorang yang sudah menyelesaikan kuliahnya harus bekerja?

Kemudian saya telaah pertanyaan-pertanyaan kawan saya ini. Yang saya dapatkan adalah, betapa kegiatan akademis yang seharusnya memicu perkembangan keilmuan telah disimpangkan sedemikian rupa menjadi sebuah kegiatan yang mengarahkan kita untuk menjadi manusia-manusia pekerja. Dengan kata lain, kegiatan akademis yang dilakukan dalam sekian waktu tersebut hanyalah perpanjangan tangan dari produksi manusia sebagai alat produksi untuk melangsungkan kegiatan produksi.

Sampai saya bertemu dengan esei Louis Althusser yang terkenal, “Ideology and Ideological State Aparatus”, saya menemukan jawaban-meski pun sangat terlambat-dari apa yang telah menguasai alam pikiran banyak makhluk-makhluk kampus yang ternyata mempersiapkan dirinya untuk menjadi alat produksi. Pendek kata, kampus telah menjadi pabrik penghasil alat-alat produksi sebagai salah satu instrumen proses produksi bernama TENAGA KERJA.

Bayangkan, betapa kampus pada dasarnya mirip kursus keahlian dalam waktu yang lebih panjang dan teoritik, sementara kita mempermaklumkannya tanpa curiga dan tak sadar.

Apa yang dipelajari anak-anak di sekolah? Mereka belajar beraneka ragam, namun secara rata-rata mereka belajar membaca, menulis dan menghitung, dengan kata lain belajar sejumlah teknik, dan sejumlah hal lain, termasuk unsur-unsur (yang mungkin saja bersifat dasar atau sangat dasar) dari ‘kultur saintifik’ atau ‘kultur literer’, yang secara langsung berguna untuk berbagai pekerjaan yang berbeda-beda dalam proses produksi (satu pelajaran untuk buruh manual, pelajaran yang lain untuk teknisi, pelajaran yang ketiga untuk insinyur, dan yang terakhir manajemen tingkat tinggi, dan sebagainya). Jadi, mereka belajar ‘pengetahuan praktis’ (know-how).

Namun di samping teknik-teknik dan pengetahuan tersebut…anak-anak di sekolah juga mempelajari ‘aturan-aturan’ tentang perilaku yang baik, yaitu sikap yang harus ditunjukkan oleh setiap agen dalam pembagian kerja sesuai dengan pekerjaan yang ‘ditakdirkan…, belajar menangani buruh-buruh secara tepat dalam artian secara nyata (demi masa depan para kapitalis dan abdi-abdi mereka) untuk mengatur buruh-buruh secara tepat atau (secara ideal) ‘berbicara kepada mereka dengan cara tepat dan sebagainya.

Lalu, apa kabar kita? Yang sudah makan norma kapitalisme yang menundukkan kita tanpa sadar bahwa sejak dalam pikiran kita sudah ditundukkan? Sehingga kita menganggap pertanyaan kawan selepas kita lulus kuliah dengan pertanyaan, “Sudahkan mendapat kerja?” sebagai sesuatu yang memang alamiah dan memang begitu apa adanya? Sehingga mengarahkan kita untuk menjadi “sekrup-sekrup kapitalisme”?

* Cut n’ ripped from Ervin Kumbang’s writing on Rebelliousickness#13. Kudos!!!...

PS: Dede bukan seorang penganut Sosialisme. Dede sekarang sudah bekerja (sejak kuliah pun dia sudah mulai bekerja). Dia bekerja karena hanya butuh uang saja (untuk bersenang-senang!). Dia bekerja bukan karena ingin menjadi “Buruh”. Dia bekerja, juga karena hanya ingin mengisi aktifitas hidupnya saja (tidak ingin agar hidupnya membosankan!). Much sympathy to those who dragged into that “machine”. Hope that I will not dragged too…

No comments: